09 September, 2007

Ku Siapkan Pemberontakan

DINGIN.... ya sangat dingin malam ini. Aku duduk sendiri sambil meratapi diriku. Bahwa aku telah terjerembab dalam kubangan lumpur noda. Ah... mungkin juga tidak. Hanya Tuhan yang menilai semuanya. Tapi entahlah, justru sebagai jurnalist, aku merasa bahwa aku bisa melihat berbagai persoalan. Aku juga bisa ke mana-mana di bumi ini. Aku bisa liat si miskin, aku bisa liat si papah, aku bisa liat si yatim, aku bisa liat liat si fakir, aku juga bisa bertemu dengan si kaya, juga si pejabat.

Aku juga tahu, betapa si miskin sangat sulit mendapatkan makan siang. Tapi si kaya tak peduli pada si miskin. Betapa si pejabat korupsi uang rakyat, yang mestinya uang itu harus disubsidi pada si miskin. Ah, sungguh para pejabat-pejabat itu telah berleha-leha dengan kekayaannya yang diperolehnya juga mungkin dari hasil korupsi. Ah.... sunguh mereka adalah pejabat bejat. Tak tahu diri. Menari-nari di atas penderitaan rakyatnya yang miskin. Aku sangat terganggu dengan para pejabat itu.

Aku tak tahu harus gimana. Aku hanya bisa menuliskan kebobrokan mereka di lembar-lembar koranku yang berbahasa Inggris. Yah The Jakarta Post... Aku sangat beruntung bekerja di koran ini. Aku berharap para koruptor itu bisa membaca tulisanku, lalu mereka tersinggung dan mau berubah. Bedebah.... mungkin begitu....???

Aku juga berharap, pengambil kebijakan yang masih "baik" bisa membaca tulisanku, dan mereka tersinggung, lalu cepat-cepat menetapkan aturan menghukum mati para koruptor itu, karena mereka membunuh rakyatnya secara pelan-pelan dengan mengkorupsi uang rakyat. Tapi jika tidak, maka sebaiknya kita siapkan pemberontakan untuk mereka. Ya pemberontakan untuk mereka. Ya kiranya hanya pemberontakan yang bisa menjawabnya.....***





Andi, Ah...Siapa Peduli

LORONG.... bau amis sampah di mana-mana. Lalat-lalat hijau beterbangan tak tentu arah. Busyet... bau banget. Tapi, seorang anak kecil terus saja mengorek-ngorek. Ku taksir usianya sekitar 7 tahun. Berpakaian lusuh. Kerahnya sudah terlihat sobek. Kemeja warna putih yang dikenakannya sudah terlihat berwarna krem.

Rambutnya tak disisir. Tak ada minyak rambut yang mewangi di kepalanya. Tak ada harum parfum yang melekat di tubuhnya. Tak ada sepatu mengkilap yang menempel di kakinya. Yang ada hanyalah lusuh. Yang ada hanyalah sesosok kerempeng. Pakaian kemiskinan telah menempel di tubuhnya. Sungguh, sangat menyayat hati.... Tapi siapa peduli....??? Entahlah...Begitu aku membatin.

Ku dekati anak itu. Ia cuek saja. Tangannya terus mengais-ngais sampah yang busuk. Ia tak peduli padaku. Ekspresinya membuat aku gemes. Tapi aku tak boleh putus asa. Aku harus tahu siapa si anak ini.

Setelah beberapa saat, aku pun akhirnya tahu, kalau si anak ini memang tak sekolah. Ia bukan anak orang berada. Orang tuanya tak punya biaya untuk menyekolahkannya. Salah siapakah ini...??? Salah orang tuanya kah....??? begitu batin ku lagi.

Sambil ngobrol, tangannya juga tak mau berhenti mengais-ngais sampah busuk itu. Tiba-tiba ia berlari meninggalkanku. "Bu... saya yang bawa bu. kasih 500 saja bu," begitu ia menawarkan jasanya untuk membawa belanjaan seorang ibu yang melintas di depannya.

Tapi apa lacur. Si ibu itu menolak jasa si kecil itu. Padahal, ia tidak minta sepuluh ribu. Ia hanya minta lima ratus rupiah. Mungkin sekadar bisa membeli roti untuk mengganjal perutnya yang sedang lapar itu. Ah aku sangat trenyuh melihat pemandangan itu. Tak terasa, air mata ku menetes. Tapi si anak itu tetap saja semangat. Ia tak putus asa. Ia kembali lagi ke tumpukan sampah dan terus mengais sampah yang bau busuk itu.

Aku terus saja ngobrol. Ia memberitahuku, namanya adalah Andi. Usianya 8 tahun. Ah... nama yang bagus. Sayangnya, nasibnya tak seberuntung namanya. Pikirku, seharusnya di usia itu, Andi harus berada di sekolah. Seharusnya Andi sedang bermain dengan teman-temannya di waktu istirahat sekolah. Seharusnya, Andi bisa jajan bersama teman-teman sekelasnya di jam istirahat sekolah.

Tapi, sangat disayangkan. Di jam sekolah, Andi hanya bisa mengais-ngais tumpukan sampah busuk. Andi tidak sendiri, masih ada adiknya yang lima tahun yang juga bekerja mengais-ngais sampah seperti dirinya. Adiknya bernama Ani yang berusia enam tahun. Tapi, hari itu Ani tidak sedang berada di tempat itu. "Saya tidak tahu Ani di mana sekarang le. Tadi dia di sini. Tapi dia so pigi, mungkin cari makan di dalam," kata Andi sembari menunjuk ke arah dalam pasar.

Ah, Andi meninggalkan ku lagi. Ia berlari lagi sambil berteriak. "Tante, saya bawa tasnya. Cuma 500 saja tante," katanya. Kali ini Andi beruntung. Seorang ibu yang masih punya hati tidak menolak tawaran jasa Andi. Dan lebih beruntung lagi, si ibu yang berusia sekitar 30 tahun itu memberi tip Rp 1500 ke Andi.

Ia kembali lagi ke tempat sampah tadi. Ia berteriak ke arah ku: "Om, saya dapat ini. Asyik... bisa beli makan," katanya kepada ku sambil memperlihatkan lembaran seribuan dan koin 500.

Ah, aku kembali trenyuh. Tapi aku begitu salut pada Andi. Ia tak pernah putus asa. Padahal, matahari siang begitu panas. Ku lihat, Andi telah bermandikan peluh. Aroma dari tubuhnya tidak enak. Belum lagi bau sampah yang penuh lalat itu.

Aku tak tega juga melihat keringat yang meleleh dari dahi Andi. Ku beli dua botol soft drink. Ku beri satu ke Andi. Ku ajak dia duduk berteduk di bawah sebuah pos jaga yang kosong di pelataran pasar itu. Ia mengikuti ku. Aku keluarkan dua potong roti dari tas ku. Andi begitu gembira menerima pemberianku. Kami minum dan makan bersama. Ia sudah mulai akrab denganku.

Andi, hanyalah salah seorang dari fenomena kemiskinan di negeri ini. Masih banyak Andi yang lain di luar sana. Mereka sangat tidak beruntung di tengah hiruk pikuknya kemegahan dan kemewahan hidup. Mereka tak bernasib baik laiknya anak-anak lain yang setiap pagi sarapan roti dan minum susu. Mereka tak sesenang anak-anak lain yang setiap pagi diantar mobil mewah ke sekolah. Mereka tak pernah merasakan dijemput dengan mobil setelah jam sekolah usai.

Entahlah... aku makin sedih lagi... di saat banyak Andi yang hidupnya tak beruntung.... tapi banyak pejabat yang tega memakan uang Andi dengan cara korupsi. Sungguh, mereka tak punya hati, mengkorupsi uang Andi dan bermandikan kemewahan, sedangkan Andi terus mengais-ngais sampah. Busyet... kataku dalam hati.

Mereka terus berdebat di gedung-gedung bertingkat untuk menentukan soal angka kemiskinan. Mereka terus berdiskusi di dalam ruang ber-AC tentang bantuan langsung tunai kepada orang miskin. Tapi sayang, Andi dan banyak Andi yang lain masih tak bisa menikmati bangku sekolah. Sayang, Andi dan banyak Andi yang lain tak bisa membeli makan siang. Sungguh, nasib mereka tak beruntung tapi tak ada yang peduli.

Ah, punggungku terasa panas. Ternyata matahari sudah mulai condong ke barat. Meski tak tega, aku tetap saja pamit ke Andi. Tapi sebelumnya ku beri dia lembaran ribuan. Ku bilang padanya: "Beli nasi untuk makan kamu dan Ani. Om tak bisa beri banyak, om juga tak bisa memberi apa-apa yang lain," kataku.

Ku usap kepalanya, ku cubit pipinya yang kurus. Ku jabat tangannya. Dia mencium tanganku. Ah air mataku kembali menetes lagi. Ku hidupkan sepeda motorku dan berlalu meninggalkan Andi. Aku tak tahu lagi, setelah itu Andi ke mana. Dalam perjalanan, aku selalu berpikir, di mana dia akan tidur malam ini. ...***