30 September, 2007

Karya Sang Guru Itu Bernama Alkhairaat

Karya-karyanya sudah terlalu banyak. Salah satu karya terbesarnya adalah Alkhairaat. Bagi masyarakat Indonesia Timur, tidak asing lagi dengan nama ini. Pasalnya, lembaga pendidikan Islam ini tersebar hingga ke pelosok-pelosok di seantero Indonesia Timur. Mulai dari Palu hingga ke Papua. Bahkan di Jakarta dan Surabaya pun telah berdiri perwakilannya.

Lantaran itu, jika orang menyebut Alkhairaat, maka yang akan terbersit di ingatan masyarakat, adalah nama Habib Idrus bin Salim Aljufrie. Di kalangan abnaul alkhairaat (anak-anak Alkhairaat) menyebutnya dengan sebutan Guru Tua atau Ustadz Tua. Seorang ulama ternama yang lahir di Taris, Hadrmaut, Yaman Selatan pada 14 Sya'ban 1319 Hijriah atau 18 Maret 1891 Miladiah.

Guru Tua, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beragama dan cinta ilmu pengetahuan, anak kedua dari pasangan Sayed Salim bin Alawy --seorang mufti di Hadramaut-- dengan Andi Syarifah Nur-- putri keturunan seorang raja di Sulawesi Selatan, yang bergelar Arung Matowa Wajo-- ini sarat dengan pengetahuan keagamaan. Sejak muda Guru Tua dikenal memiliki wawasan yang luas dan sudah menghafal Alquran. Beliau juga ahli di bidang Fiqhi (hukum Islam).

Karena terjadi pergolakan politik di negaranya ketika itu, akhirnya ia dibuang oleh Inggris dan disuruh meninggalkan Yaman Selatan. Karena kerinduannya pada daerah ibunya, akhirnya Habib Idrus bin Salim Aljufrie memilih ke Batavia (Jakarta).

Di Batavia-lah, pertama kali Habib Idrus bin Salim Aljufrie memainkan peran pertama kali. Sejak saat itu, aktivitasnya pun terbilang cukup padat. Ia berpindah dari satu mimbar ke mimbar lainnya untuk mengajarkan agama kepada umat ketika itu. Tahun 1926, menjadi tahun penuh kesibukan Sang Guru Tua.

Dari situ pula, Habib Idrus bin Salim Aljufrie berkenalan dan menjadi teman diskusi dengan pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari, di Jombang, Jawa Timur. Keduanya kerap kali terlibat dalam pembicaraan, bahkan perdebatan sekitar masalah agama hingga upaya meningkatkan kualitas umat Islam melalui jalur pendidikan di pesantren.

Tidak hanya itu. Habib Idrus bin Salim Aljufrie, melanjutkan lagi dakwah ke Solo, Jawa Tengah dan ia dipercaya membina madrasah Al Rabithah Al Alawiyah cabang Solo. Selain sebagai pengajar, ia juga ditunjuk sebagai kepala sekolah tersebut. (Kini, lembaga pendidikan Al Rabithah Al Alawiyah berubah nama menjadi Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro).

Habib Sagaf bin Muhammad bin Salim Aljufrie, cucu Habib Idrus bin Salim Aljufrie, mengatakan, saat itu, di Jawa sudah sangat banyak ulama dan habaib. Akhirnya, tahun 1929, Habib Idrus bin Salim Aljufrie kemudian memilih mengajarkan agama di kawasan timur Indonesia. Ia memulai perjalanan ke Ternate, Maluku Utara. Beberapa saat mengajar di daerah kesultanan Islam itu, Habib Idrus bin Salim Aljufrie kemudian memilih melanjutkan perjalanan lagi ke Donggala, Sulawesi Tengah.

Di Donggala ketika itu, masyarakat masih hidup dalam kepercayaan animisme dan dinamisme. Habib Idrus bin Salim Aljufrie berpikir, ia harus mengajak umat di Donggala untuk memeluk Islam. Akhirnya, ia mendekati para tokoh masyrakat setempat, sampai akhirnya menikah dengan putri Donggala dari keturunan raja setempat. "Beberapa saat kemudian, Guru Tua menyampaikan keinginannya untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam," kata Habib Saggaf bin Muhammad Aljufrie yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Tengah ini.

Gagasan itu disambut positif para tokoh masyarakat. Maka berdirilah sebuah madrasah yang diberi nama Alkhairaat. Madrasah Alkhairaat yang pertama ini diresmikan pada 14 Muharram 1349 atau 1930 masehi. Dari situlah, cikal bakal berdirinya ribuan madrasah dan sekolah Alkhairaat di kawasan Timur Indonesia.

Data dari Pengurus Besar Alkhairaat menyebutkan, saat ini telah berdiri 1.816 madrasah dan sekolah, mulai dari Taman Kanak-Kanak TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) serta Universitas Alkhairaat. "Semuanya tersebar dari Palu hingga Papua, dan pusatnya berada di Palu" kata Habib Saggaf bin Muhammad Aljufruie.

Kini, Habib Idrus bin Salim Aljufrie telah tiada. Beliau telah wafat pada hari Senin 12 Syawal 1389 Hijriyah atay 22 Desember 1969. Sang Guru Tua hanya bisa meninggalkan karya besar yang tak bergerak bernama Yayasan Pendidikan Islam Alkhairaat dan karya bergerak, yaitu ratusan ribu santri dan alumni Alkhairaat. "Suatu ketika beliau ditanya soal karya berupa buku, beliau hanya menjawab, karya ku adalah Alkhairaat dan murid-muridku yang selalu mengajarkan agama kepada umat," kata Habib Idrus bin Salim Aljufrie.

AJAKAN DAMAI ALKHAIRAAT SAAT KONFLIK POSO

Saat meletusnya konflik Poso tahun 1998, Alkhairaat menjadi sentral pembinaan umat. Tidak hanya sekadar menampung pengungsi muslim Poso, tapi juga menjadi lembaga Islam di Sulawesi Tengah yang secara formal mengajak masyarakat untuk menghentikan konflik. Bahkan, pada Maret 2000 silam, para pendeta dan tokoh masyarakat Kristen datang ke Habib Sagaf bin Muhammad Aljufrie untuk meminta nasehat.

"Saya hanya meminta agar segera hentikan konflik. Konflik hanya merugikan masyarakat. Saya pun meminta umat Islam agar menahan diri dan tidak terpancing dengan semua provokasi," kata Habib Saggaf--sapaan akrab Habib Saggaf bin Muhammad Aljufrie kepada The Jakarta Post.


Karena keberadaan Alkhairaat itulah, sehingga konflik Poso tidak bisa melebar hingga ke Palu. berbagai macam provokasi dilakukan di Palu, mulai dari bom gereja, penembakan di gereja dan penembakan pendeta, tapi masyarakat Palu tidak terpengaruh sama sekali. Diakui atau tidak, semua itu karena peran Alkhairaat yang setiap saat mengajak masyarakat untuk cinta damai. Bahkan, Habib Saggaf bin Muhammad Aljufrie, dikenal sangat akrab dengan Pendeta Irianto Kongkoli, Sekretaris Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang tewas ditembak di Palu.

Saat pendeta Irianto Kongkoli disemayamkan di kediamannya di Palu, Ketua Utama Alkhairaat, Habib Saggaf bin Muhammad Aljufrie, mengajak Ketua DPRD Sulteng untuk melayat. Bahkan, sempat memberikan pesan-pesan damai di depan ratusan umat Kristiani di kediaman Pendeta Irianto Kongkoli.

Padahal, saat meletusnya konflik Poso, tercatat lebih dari 50 Madrasah Alkhairaat di Poso yang terbakar dan diakar. Tapi, menurut Ustadz Saggaf, terbakar dan dibakarnya Madrasah Alkhiraat di Poso itu, tak lebih dari musibah yang tak patut disesali. "Kita ambil hikmahnya saja. Yang penting, adalah situasi aman sekarang ini harus tetap dijaga," katanya.

Ajakan damai Alkahiraat itu, tidak hanya dilakukan melalui mimbar masjid dan pengajian-pengajian, tapi juga disampaikan melalui koran Mingguan Alkhairaat (MAL) dan Radio Alkhairaat (RAL).

Sederhana saja pikiran Ketua Utama Alkhairaat ini. Menurutnya bahwa kalau suasana kacau, maka pendidikan tidak akan bisa berjalan, proses belajar mengajar akan berhenti total. "Jadi, tak ada kata lain kecuali kita harus aman. Kita harus damai, agar semuanya dapat berjalan normal," katanya.

Pengakuan soal peran Alkhairaat menenangkan masyarakat di Palu itu, juga diakui oleh Pendeta Jimmy Tumbelaka. Menurutnya, Alkhairaat memiliki peran yang sangat besar saat terjadinya konflik di Poso. Beberapa kali ada upaya pihak-pihak tertentu yang hendak melebarkan sayap konflik ke Palu, tapi semua itu tidak berhasil, karena adanya tokoh sentral di Palu yang masih bisa didengar. "Tokoh sentral itu adalah Ustadz Saggaf, ketua Utama Alkhairaat," kata Pendeta Jimmy Tumbelaka.

Tidak hanya itu, Pengurus Wilayah Himpunan Pemuda Alkhairaat (HPA) beberapa kali menjalin kerjasama dengan sebuah organisasi muda Kristen di Tentena, yakni Angkatan Muda Sintuwu Maroso (Amsimar) untuk menggelar beberapa acara di Tentena. "Semua itu, dimaksudkan agar terjalinnya kerjasama antarumat beragama yang harmonis," tandas Husen Alhabsyi, ketua Umum Pengurus Wilayah HPA Sulteng.***

19 September, 2007

Tanjung Karang, Tempat Terbaik untuk Snorkeling


Mobil yang ku tumpangi melaju menyusuri pesisir pantai Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Sambil ngobrol dengan kawan sopir, tiba-tiba mobil yang ku tumpangi tiba di tujuan. Ku lirik jam di mobil phone ku, angka menunjukkan pukul 09.00 Wita. Saya hanya perlu waktu 35 menit untuk sampai ke tujuanku.

Hari itu, Selasa (18/9) bersama beberapa kawan aku menuju pantai Tanjung Karang. Orang Palu dan Donggala lebih mengenalnya dengan nama pantai pasir putih. Lokasinya di Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala. Jaraknya hanya sekitar 40 kilometer dari Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah.

Sekitar 20 tahun silam, Pantai Tanjung Karang ini hanya dikenal sebagai tempat istirahat sementara para setelah lelah melaut.

Waktu itu, belum ada jalan masuk ke Pantai Tanjung Karang, padahal hamparan pasir putih di pantai itu sungguh indah. Perkebunan kelapa milik masyarakat juga tumbuh subur di sekitar pantai ini.

Tapi sekarang, Pantai Tanjung Karang sudah berubah menjadi objek wisata favorit bagi warga Palu dan sekitarnya. Apalagi, kalau setiap musim libur, pantai ini dipadati wisatawan lokal, bahkan turis mancanegara. Rata-rata berasal dari Eropa.

Wisatawan kini, sudi bertandang ke pantai itu, selain karena jalan menuju ke Tanjung Karang sudah bagus, kita hanya perlu sekitar 30-45 menit dari Palu, juga airnya yang begitu jernih, pasir putih yang bersih membentuk huruf "V" disertai panorama alamnya yang menakjubkan.

Dari pantai yang dinamai Tanjung Karang itu terlihat pula Kota Donggala, yang berjarak sekitar 3 km, dan sebagian wilayah Kota Palu serta desa-desa di pesisir pantai barat Kabupaten Donggala.

Bahkan kalau malam hari, suasana semakin indah karena lampu penerang aneka warna dari kejauhan berkelap-kelip, selain sinar Mercusuar yang dibangun oleh Departemen Perhubungan di sudut tanjung ini.

Juga, dari tempat ini orang bisa menyaksikan pemandangan terbuka Teluk Palu dan Selat Makassar nan luas. Kapal yang masuk-keluar Pelabuhan Pantoloan serta hilir-mudik perahu nelayan di Teluk Palu, menjadi daya tarik bagi wisatawan.

Muhammad Ikhsan, petugas di pintu masuk Tanjung Karang, mencatat setiap hari libur, sedikitnya 200 kendaraan roda empat dan dua masuk-keluar di objek wisata Tanjung Karang ini. Bahkan angka ini meningkat pesat setelah Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mencanangkan lima hari kerja sejak pertengahan April 2007 lalu.

"Pengunjung pada Sabtu, Minggu, dan hari libur, paling banyak. Totalnya bisa mencapai seribu orang orang," katanya.

Untuk memberikan pelayanan bagi para wisatawan, yang umumnya wisatawan keluarga, penduduk setempat membangun dan menyewakan puluhan penginapan sederhana, yang terbuat dari kayu dan beratap rumbia.

Tarifnya relatif murah, antara Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu semalam untuk masing-masing cottage yang memiliki satu kamar tidur, satu ruang terbuka sebagai teras, dan satu kamar mandi. Tarif ini tidak termasuk makan dan minum.

Menu yang disajikan para pengelolanya beraneka ragam, namun umumnya berupa makanan laut, seperti ikan bakar, cumi-cumi goreng, dan lobster rebus.

Ada juga kopi panas, teh, dan sarabba (minuman khas Palu terbuat dari jahe dan gula aren yang direbus serta diberi susu kental), serta pisang goreng panas.

Pengunjung juga dapat menikmati makanan, minuman, dan penganan lainnya di cafe-cafe sederhana di area penginapan.

Di Tanjung Karang, ada pula sebuah cottage milik investor asal Jerman berpenduduk Palu. Namanya Prince John. Cottage yang di kelilingi pagar kayu dan tembok dengan luas halaman sekitar 60x50 meter tersebut dilengkapi berbagai fasilitas memadai, seperti cafe, lapangan voly pantai, serta beberapa bangunan tempat tinggal yang dilengkapi kamar mirip hotel.

Pemilik cottage ini juga melengkapinya dengan kapal pesiar dan peralatan selam, yang banyak diminati wisatawan mancanegara.

Tapi, hari itu saya tak mau menyelam. Saya tak perlu menyewa kapal untuk berkeliling Tanjung Karang. Saya hanya cukup menyewa sebuah ban dalam mobil seharga Rp 3 ribu, lalu menyewa kacamata di cottage Prince John seharga 10 ribu, untuk snorkeling.

Luar biasa, sangat indah. Hanya selangkah dari batas air, dan masih dari atas permukaan saya dapat menikmati indahnya terumbu karang dan ikan hias yang menari-nari di atas dan di sela-sela karang.

Ingin rasanya saya menjamah ikan itu, karena sangat dekat denganku. Bahkan sesekali ikan-ikan yang berwarna-warni itu menabrak tanganku yang ku masukan ke dalam air.

"Ah sangat indah," kata Muhammad Rizal salah seorang kawan yang bersamaku snorkeling di Pantai Tanjung Karang itu.

Bupati Donggala, Habir Ponulele yang dihubungi The Jakarta Post, Rabu (18/9) malam, mengatakan, Pantai Tanjung Karang telah ditetapkan sebagai salah tempat wisata terbaik di daerahnya.

Pasalnya, menurut Bupati Donggala, jarak Tanjung Karang sangat dekat dengan Kota Palu. "Jadi, kalau ada wisatawan asing, mereka tak perlu capek-capek kalau mau ke Tanjung Karang. Begitu datang, tak perlu istirahat lagi, tapi langsung snorkeling dan diving pun bisa," kata Bupati Habir Ponulele.

Rencananya, kata Bupati Habir Ponulele, tempat itu akan menjadi salah lokasi dilaksanakan World Culture Festival yang pelaksanaannya ditunda hingga 7 November mendatang.

Jika ada wisatawan yang mau datang, dari Jakarta naik pesawat Lion Air, Batavia atau Merpati selama dua jam. Transit di Makassar atau Balikpapan, 45 menit kemudian mereka tiba di Bandara Mutiara Palu. Kemudian, dengan menumpang mobil kijang dari Bandara Mutiara Palu dengan tarif Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu menuju Tanjung dengan lama perjalanan antara 30 menit hingga 45 menit.***

15 September, 2007


DEADLINE... tau kan kata ini...??? Yang pasti, kata ini membuat aku langsung panas dingin. Kadang-kadang juga bikin aku kebakaran jenggot. Bahkan, perut ku langsung mules-mules. Tak hanya itu, kadang-kadang aku gak bisa tidur. Ketak, ketik, ketuk, ketok bunyi tuts komputer, tapi pandangan ku kosong. Aku bingung, gak tau mau memulai dari mana. Mati ide, gak tau harus menulis dari mana. Susah juga menetapkan lead kalau udah dikejar deadline.

Tapi, aku harus bisa. Dooorrr.... bummmm.... letusan senjata menyalak lagi. Bom meledak lagi.... Ah aku sudah biasa dengan berita itu. Tiba-tiba, kriiing, kriiing, kriiing, 021-5360012 tertulis di mobile phone ku. “Hallo....” Suara perempuan yang sangat manja, memulai percakapan denganku. "Ochan, berita bom itu gimana. Ochan, ada gak berita penembakan. Korbannya gimana, mati gak....??? Stevie Emilia, si editor ku yang paling cantik menanyakannya. "Siap mbak, sebentar lagi ku kirim," kataku. Ah, deadline, aku harus diburu waktu.

Memang, deadline selalu berhubungan dengan apa yang aku kerjakan. Paling gak, itulah batas waktu yang sudah ku sepakati. Maka, aku tak boleh mengeluh. Aku tak boleh panas dingin. Aku tak boleh marah, apalagi sampai gak bisa tidur. Ya...itulah kesepakatan yang harus ku taati.

Tapi, kadang-kadang juga, Jakarta (Palmerah Selatan) tak mau tahu soal kondisi ku di sini. Kadang-kadang koneksi internet begitu lelet. Bahkan, mati sama sekali. Akhirnya memengaruhi deadline ku. Apalagi di Poso.... rebutan komputer menjadi pemandangan sehari-hari para wartawan di sini. Tapi, apa peduli... Jakarta hanya terus mengejar berita itu, dan aku harus menepati deadline.

Aku membayangkan, kalau saja Jakarta bisa membelikan aku laptop, nanti ku cicil dengan honor ku yang gak seberapa setiap bulannya, pasti aku gak akan berebutan komputer lagi di warnet. Tapi sampai kapan, apa iya Jakarta mau membelikannya....??? Entahlah...***

11 September, 2007

Belajar Damai dari Warung Kopi

RIBUT tapi mengasyikan..... obrolan ngalor-ngidul, serius, ringan, ngoceh, diskusi dengan berbagai topik. Mulai dari dari isu di tingkat Rukun Tetangga, sampai soal isu internasional yang mereka tonton di tivi dan baca di koran dan majalah. Ah....Semua hal dibicarakan di sini. Di sini juga mereka berdebat. Bersitegang. Bercanda. Dan macam-macam hal. Oh iya, di sini juga mereka bicarakan soal rencana aksi unjukrasa.

Aku mengistilahkannya dengan DPRD Tingkat III. Karena di sini berkumpul para birokrat, bupati, walikota, politisi, akademisi, pengusaha, kontraktor, wartawan, polisi, tentara, advokat, jaksa, hakim, penganggur, sampai orang gila. Di sini juga ada beragam orang dengan latar belakang agama dan kepercayaan. Ada Islam, Kristen, Budha, Hindu, Kong Hu Cu dan juga yang tak beragama. Komunis benaran sampai komunis malu-malu pun ada. Semuanya berkumpul di sini. Mereka menyatu dan tidak kenal perbedaan-perbedaan itu. Tak ada sekat-sekat dan tak ada orang dilihat dari kelas sosialnya. Dan tak ada dendam di sini. Semuanya damai.

Ya... itulah suasana warung kopi (warkop) di Palu. Ada warung kopi Harapan di Jalan Wahidin yang aku menyebutnya dengan warkop KNPI. Karena setiap siang hingga sore, mayoritas hanya diisi oleh para anggota dan pengurus KNPI. Ada warkop Aweng di Jalan Ki Maja. Nama itu diambil dari nama pemiliknya. Ada juga warkop MJM di Jalan Setiabudi. Ada juga di warkop di Jalan Pattimura dan di Jalan Cut Nyak Dien. Entahlah, apakah karena hoki atau apa, semua warkop itu dikelola oleh mereka yang masih saudara sekandung.

SALAM DAN JABAT TANGAN

Yang paling berkesan ketika kita datang ke warkop-warkop di Palu, seperti telah menjadi suatu konsensus bersama meski tak tertulis, tapi wajib kita harus mengucapkan salam (Assalamu'alaikum atau selamat pagi) lalu disertai dengan berjabatan tangan. Kita harus berjabat tangan dengan semua pengunjung. Nah boleh dibayangkan kalau pengunjung ada 50 orang. Capek bukan....???

Tapi, semua yang datang ke warkop, pasti melakukan itu. Bahkan Marini, seorang aktris senior yang bersuamikan orang Palu, pun mengikuti tradisi itu. Aku pernah mengajak seorang kawan dari Jakarta ke warkop Aweng, sekembalinya dari situ, ia sempat memuji tradisi itu. "Luar biasa... pantas saja saya merasa agak terasing juga, karena saya tidak jabat tangan," kataya.

Dan lebih terlihat lagi persaudaraan itu, karena bagi yang memiliki uang lebih semisal walikota, ketua DPRD, Wakil Ketua DPRD atau pengusaha, akan membayar kopi bagi hampir semua orang. Itu juga sudah menjadi semacam kesepakatan bersama. Tapi itu bukan sogokan atau pun amplop.

Entahlah, siapa yang memulai tradisi salam, jabat tangan dan bayar kopi untuk semua di warkop-warkop Palu itu. Tapi yang pasti, itu sudah berlangsung sejak lama. "Oh tradisi itu sudah ada sejak tahun 1980-an," kata Bustamin Nongtji, mantan Pembantu Rektor III Universitas Tadulako yang menjadi pelanggan warkop Aweng.

Meski begitu, toh masih ada juga yang merasa terganggu kalau ke warkop. "Ah... saya malas ke warkop, nanti saya harus bayarin semua kopi orang," kata salah seorang kawan asal Palu yang sudah lama tinggal di Jakarta.

Kesan lain yang ku dapati di warkop-warkop di Palu, adalah istilah kopi setengah. Beberapa pelanggan hanya memesan kopi separuh gelas. Jadi, kalau harga kopi segelasnya Rp 5000, mereka hanya membayar Rp 2500. Tapi tunggu dulu, setelah meminum beberapa teguk, pemesan kopi setengah itu meminta tambahkan air panas dan gula. Maka jadilah kopi segelas. Tapi, bayarnya tetap separuh. hehehehe....sebuah strategi mendapatkan segelas kopi dengan bayaran separuh harga.

BERBEDA DENGAN ATJEH

Beberapa hari setelah tsunami, aku sempat ke Nanggroe Atjeh Darussalam. Keberangkatan ku waktu itu difasilitasi oleh M. Ichsan Loulembah, seorang senator asal Sulteng untuk menjadi relawan kemanusiaan. Di negeri Serambi Mekkah itu, aku juga bisa menikmati kopi di warung kopi Ulee Kareng. Suasannya nyaris sama. Mungkin karena situasi ketika itu masih berduka, jadi aku tak melihat ada diskusi satu topik yang terfokus seperti suasana di warkop Palu. Di Palu, jika ada satu isu menarik maka itu menjadi topik hangat untuk dibicarakan.

Aku juga tak melihat ada jabatan tangan dengan semua pengunjug warkop ulee kareng. Aku juga tak melihat ada diskusi terfokus untuk satu isu yang lagi hangat. Masing-masing orang sibuk dengan onrolan do kelompoknya sendiri-sendiri.

Soal rasa kopi, memang tergantung lidah setiap yang meminumnya. Tapi, bagiku kopi di warkop Ulee Kareng Atjeh dan Warkop Palu, sama saja. Suatu saat, seorang kawan wartawan dari Atjeh, namanya Hotli Simanjuntak, pernah ke Palu dan aku ajak ke warkop Harapan di Jalan Wahidin. Ia memesan kopi hitam. Begitu selesai menyeruput kopi itu, ia mengatakan: "Kopi Palu berat juga. Kepala saya puyeng juga setelah meminum kopi ini," kata Hotli kepadaku.

Entahlah, menurut sebagian orang Atjeh, kopi Ulee Kareng itu telah dicampur ganja. Tapi aku tak merasa puyeng waktu meminumnya. Tapi Hotli yang asli Medan dan tinggal di Atjeh itu, mengaku kalau kopi Palu berat. Meskipun Selvi, perempuan cantik di Warkop Harapan, tak mau memberitahukan ku soal campuran kopi yang dijualnya. Tapi aku yakin kalau kopi Palu tak dicampur ganja.

Seorang pejabat dari kantor Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat pun, sampai harus membeli sekilogram kopi Palu sebagai ole-ole untuk dibawa ke Jakarta. "Wah...saya belum merasakan kopi seperti ini di Jakarta," kata Tono Supranoto, Asisten Deputi Menko Kesra Bidang Penanggulangan Kemiskinan suatu saat ketika datang ke warkop Harapan.

Nah, saya pikir Anda juga bisa mencoba kopi Palu, sekaligus menikmati suasananya. Bagaimana bisa ke warkop Palu....??? Dari Jakarta Anda bisa menggunakan pesawat Lion Air, Wings Air, Batavia, Merpati dan Sriwijaya Air Lines, trasit di Makassar atau di Balikpapan. Harga tiketnya paling murah Rp 900 ribu dan yang paling mahal Rp. 1,5 juta. Dari Bandara Mutiara Palu, Anda cukup naik mobil bandara dengan tarif one way hanya Rp 30 ribu ke hotel.

Pagi harinya, pukul 08.00 Wita atau pukul 09.00 Wita, cobalah Anda ke warkop Harapan, Aweng atau MJM. Kalau di Harapan di Jalan Wahidin, maka yang Anda lihat adalah polisi, TNI, karyawan Bank dan Karyawan Telkom. Kalau Anda ke warkop Aweng di Jalan Ki Maja, maka Anda akan bertemu dengan PNS, pejabat, Ketua DPRD, Wakil Ketua DPRD, politisid, wartawan an bermacam-macam orang. Kalau ke MJM di Jalan Setiabudi, maka akan bertemu dengan para kontraktor. Tak ada salahnya Anda mencobanya...***

09 September, 2007

Ku Siapkan Pemberontakan

DINGIN.... ya sangat dingin malam ini. Aku duduk sendiri sambil meratapi diriku. Bahwa aku telah terjerembab dalam kubangan lumpur noda. Ah... mungkin juga tidak. Hanya Tuhan yang menilai semuanya. Tapi entahlah, justru sebagai jurnalist, aku merasa bahwa aku bisa melihat berbagai persoalan. Aku juga bisa ke mana-mana di bumi ini. Aku bisa liat si miskin, aku bisa liat si papah, aku bisa liat si yatim, aku bisa liat liat si fakir, aku juga bisa bertemu dengan si kaya, juga si pejabat.

Aku juga tahu, betapa si miskin sangat sulit mendapatkan makan siang. Tapi si kaya tak peduli pada si miskin. Betapa si pejabat korupsi uang rakyat, yang mestinya uang itu harus disubsidi pada si miskin. Ah, sungguh para pejabat-pejabat itu telah berleha-leha dengan kekayaannya yang diperolehnya juga mungkin dari hasil korupsi. Ah.... sunguh mereka adalah pejabat bejat. Tak tahu diri. Menari-nari di atas penderitaan rakyatnya yang miskin. Aku sangat terganggu dengan para pejabat itu.

Aku tak tahu harus gimana. Aku hanya bisa menuliskan kebobrokan mereka di lembar-lembar koranku yang berbahasa Inggris. Yah The Jakarta Post... Aku sangat beruntung bekerja di koran ini. Aku berharap para koruptor itu bisa membaca tulisanku, lalu mereka tersinggung dan mau berubah. Bedebah.... mungkin begitu....???

Aku juga berharap, pengambil kebijakan yang masih "baik" bisa membaca tulisanku, dan mereka tersinggung, lalu cepat-cepat menetapkan aturan menghukum mati para koruptor itu, karena mereka membunuh rakyatnya secara pelan-pelan dengan mengkorupsi uang rakyat. Tapi jika tidak, maka sebaiknya kita siapkan pemberontakan untuk mereka. Ya pemberontakan untuk mereka. Ya kiranya hanya pemberontakan yang bisa menjawabnya.....***





Andi, Ah...Siapa Peduli

LORONG.... bau amis sampah di mana-mana. Lalat-lalat hijau beterbangan tak tentu arah. Busyet... bau banget. Tapi, seorang anak kecil terus saja mengorek-ngorek. Ku taksir usianya sekitar 7 tahun. Berpakaian lusuh. Kerahnya sudah terlihat sobek. Kemeja warna putih yang dikenakannya sudah terlihat berwarna krem.

Rambutnya tak disisir. Tak ada minyak rambut yang mewangi di kepalanya. Tak ada harum parfum yang melekat di tubuhnya. Tak ada sepatu mengkilap yang menempel di kakinya. Yang ada hanyalah lusuh. Yang ada hanyalah sesosok kerempeng. Pakaian kemiskinan telah menempel di tubuhnya. Sungguh, sangat menyayat hati.... Tapi siapa peduli....??? Entahlah...Begitu aku membatin.

Ku dekati anak itu. Ia cuek saja. Tangannya terus mengais-ngais sampah yang busuk. Ia tak peduli padaku. Ekspresinya membuat aku gemes. Tapi aku tak boleh putus asa. Aku harus tahu siapa si anak ini.

Setelah beberapa saat, aku pun akhirnya tahu, kalau si anak ini memang tak sekolah. Ia bukan anak orang berada. Orang tuanya tak punya biaya untuk menyekolahkannya. Salah siapakah ini...??? Salah orang tuanya kah....??? begitu batin ku lagi.

Sambil ngobrol, tangannya juga tak mau berhenti mengais-ngais sampah busuk itu. Tiba-tiba ia berlari meninggalkanku. "Bu... saya yang bawa bu. kasih 500 saja bu," begitu ia menawarkan jasanya untuk membawa belanjaan seorang ibu yang melintas di depannya.

Tapi apa lacur. Si ibu itu menolak jasa si kecil itu. Padahal, ia tidak minta sepuluh ribu. Ia hanya minta lima ratus rupiah. Mungkin sekadar bisa membeli roti untuk mengganjal perutnya yang sedang lapar itu. Ah aku sangat trenyuh melihat pemandangan itu. Tak terasa, air mata ku menetes. Tapi si anak itu tetap saja semangat. Ia tak putus asa. Ia kembali lagi ke tumpukan sampah dan terus mengais sampah yang bau busuk itu.

Aku terus saja ngobrol. Ia memberitahuku, namanya adalah Andi. Usianya 8 tahun. Ah... nama yang bagus. Sayangnya, nasibnya tak seberuntung namanya. Pikirku, seharusnya di usia itu, Andi harus berada di sekolah. Seharusnya Andi sedang bermain dengan teman-temannya di waktu istirahat sekolah. Seharusnya, Andi bisa jajan bersama teman-teman sekelasnya di jam istirahat sekolah.

Tapi, sangat disayangkan. Di jam sekolah, Andi hanya bisa mengais-ngais tumpukan sampah busuk. Andi tidak sendiri, masih ada adiknya yang lima tahun yang juga bekerja mengais-ngais sampah seperti dirinya. Adiknya bernama Ani yang berusia enam tahun. Tapi, hari itu Ani tidak sedang berada di tempat itu. "Saya tidak tahu Ani di mana sekarang le. Tadi dia di sini. Tapi dia so pigi, mungkin cari makan di dalam," kata Andi sembari menunjuk ke arah dalam pasar.

Ah, Andi meninggalkan ku lagi. Ia berlari lagi sambil berteriak. "Tante, saya bawa tasnya. Cuma 500 saja tante," katanya. Kali ini Andi beruntung. Seorang ibu yang masih punya hati tidak menolak tawaran jasa Andi. Dan lebih beruntung lagi, si ibu yang berusia sekitar 30 tahun itu memberi tip Rp 1500 ke Andi.

Ia kembali lagi ke tempat sampah tadi. Ia berteriak ke arah ku: "Om, saya dapat ini. Asyik... bisa beli makan," katanya kepada ku sambil memperlihatkan lembaran seribuan dan koin 500.

Ah, aku kembali trenyuh. Tapi aku begitu salut pada Andi. Ia tak pernah putus asa. Padahal, matahari siang begitu panas. Ku lihat, Andi telah bermandikan peluh. Aroma dari tubuhnya tidak enak. Belum lagi bau sampah yang penuh lalat itu.

Aku tak tega juga melihat keringat yang meleleh dari dahi Andi. Ku beli dua botol soft drink. Ku beri satu ke Andi. Ku ajak dia duduk berteduk di bawah sebuah pos jaga yang kosong di pelataran pasar itu. Ia mengikuti ku. Aku keluarkan dua potong roti dari tas ku. Andi begitu gembira menerima pemberianku. Kami minum dan makan bersama. Ia sudah mulai akrab denganku.

Andi, hanyalah salah seorang dari fenomena kemiskinan di negeri ini. Masih banyak Andi yang lain di luar sana. Mereka sangat tidak beruntung di tengah hiruk pikuknya kemegahan dan kemewahan hidup. Mereka tak bernasib baik laiknya anak-anak lain yang setiap pagi sarapan roti dan minum susu. Mereka tak sesenang anak-anak lain yang setiap pagi diantar mobil mewah ke sekolah. Mereka tak pernah merasakan dijemput dengan mobil setelah jam sekolah usai.

Entahlah... aku makin sedih lagi... di saat banyak Andi yang hidupnya tak beruntung.... tapi banyak pejabat yang tega memakan uang Andi dengan cara korupsi. Sungguh, mereka tak punya hati, mengkorupsi uang Andi dan bermandikan kemewahan, sedangkan Andi terus mengais-ngais sampah. Busyet... kataku dalam hati.

Mereka terus berdebat di gedung-gedung bertingkat untuk menentukan soal angka kemiskinan. Mereka terus berdiskusi di dalam ruang ber-AC tentang bantuan langsung tunai kepada orang miskin. Tapi sayang, Andi dan banyak Andi yang lain masih tak bisa menikmati bangku sekolah. Sayang, Andi dan banyak Andi yang lain tak bisa membeli makan siang. Sungguh, nasib mereka tak beruntung tapi tak ada yang peduli.

Ah, punggungku terasa panas. Ternyata matahari sudah mulai condong ke barat. Meski tak tega, aku tetap saja pamit ke Andi. Tapi sebelumnya ku beri dia lembaran ribuan. Ku bilang padanya: "Beli nasi untuk makan kamu dan Ani. Om tak bisa beri banyak, om juga tak bisa memberi apa-apa yang lain," kataku.

Ku usap kepalanya, ku cubit pipinya yang kurus. Ku jabat tangannya. Dia mencium tanganku. Ah air mataku kembali menetes lagi. Ku hidupkan sepeda motorku dan berlalu meninggalkan Andi. Aku tak tahu lagi, setelah itu Andi ke mana. Dalam perjalanan, aku selalu berpikir, di mana dia akan tidur malam ini. ...***

07 September, 2007

Jadilah Inspirasi bagi Orang Lain

DALAM proses belajarnya, manusia melalui sudut, yakni mental, fisik, emosional dan spiritual. Setiap sudut punya kunci keberhasilan. Kenapa pada sudut spiritual, tidak pernah ada kata LULUS....???

Belajar adalah suatu kegiatan yang tidak pernah mengenal kata berhenti. Bila perlu, nafas terakhir sekalipun tetap menjadi sebuah pembelajaran. Namun kita semua mungkin menyimpan sebuah pertanyaan mengelitik tentang belajar, yakni bagaimana kita bisa membuat pembelajaran kita menjadi lebih efektif sehingga bisa segera memetik buah dari apa yang kita pelajari...???

Untuk menemukan jawaban atas misteri tersebut, saya ingin mengajak kita menguak rahasia kekuatan piramida belajar. Dalam bukunya, Rich Dad's The Business School for People who like helping people, pebisnis dan penulis ternama Robert T Kiyosaki menawarkan suatu model yang sangat menarik, yang disebutnya piramida belajar. Model ini, sesuai namanya, berbentuk sebuah piramida yang membentuk empat sudut. Masing-masing sudut memiliki nama. Ada sudut mental, fisik, emosional dan sudut spiritual.

Pertama; sudut mental. Sudut ini merupakan sudur di mana kita semua mengawali proses belajar. Pada sudut ini biasanya kita akan menghadapi perlawanan-perlawanan dari keyakinan atau nilai-nilai yang telah kita miliki sebelumnya. Itu sebabnya, seringkali orang mengatakan lebih mudah mengajari anak kecil yang belum tahu apa-apa, dibandingkan mengajar orang dewasa yang sudah banyak tahu.

Mari kita gunakan saat-saat kita belajar mengendarai sepeda motor sebagai contoh. Pikiran kita akan memberikan perlawanan terhadap apa yang diajarkan oleh pelatih kita seperti bagaimana memindahkan persneling. Hal ini terjadi, karena pada saat kita belajar bersepeda di waktu kecil, belum ada yang namanya persneling.

Tentu saja keahlian yang telah kita peroleh sebelumnya, bisa bermanfaat, seperti bagaimana kemampuan kita mengatur keseimbangan saat kita mengendarai sepeda di waktu kecil. Kemampuan menjaga keseimbangan bersepada itulah, bisa digunakan saat kita belajar naik sepeda motor. Kunci keberhasilan kita pada tahap ini, adalah percaya sepenuhnya pada apa yang diajarkan oleh pelatih atau guru kita. Seringkali kita menjadi lambat pada tahap ini, karena mental pikiran kita mengatakan bahwa kita telah mengetahui semua yang diajarkan.

Sudut yang kedua adalah sudut fisik. Setelah pikiran kita bisa menerima apa yang diajarkan oleh guru atau pelatih kita, maka kita pun mulai penasaran ingin mempraktekkannya. Pada tahap ini kita akan aktivitas fisik tertentu untuk bisa menguasai ilmu atau keahlian yang sedang kita pelajari. Kembali pada ilustrai belajar mengendarai sepeda motor. Pada saat kita menghidupkan sepeda motor dan mencoba mengendarainya pertama kali, apa yang terjadi...??? Mungkin kita terkejut, karena sepeda motornya, bukannya meluncur dengan mulus, tapi malah meloncat seperti kodok. Meski gagal pertama kali, tapi kita sudah melangkah lebih maju, karena telah memasuki sudut fisik. Kunci keberhasilan kita di sini adalah ketekunan dan keyakinan bahwa kita bisa menguasai apa yang sedang kita pelajari.

Setelah kita mencoba berkali-kali, akhirnya kita pun mahir mengendarai sepeda motor. Sejak saat itu, tanpa kita sadari, kita telah melangkahkan kaki ke sudut emosional. Tantangan yang kita hadapi pada sudut emosional, sangatlah berbeda dengan tantangan yang kita alami pada sudut fisik. Bila pada sudut fisik, kita bisa dengan mudah melihat tantangan yang ada di hadapan kita, maka pada emosional, seringkali tantangan tersebut tidak kelihatan. Karena pada sudut ini kita berhadapan dengan ego kita sendiri, seperti ketakutan dan percaya diri yang berlebihan.

Setelah mengendarai sepeda motor berkeliling kampung beberapa saat, maka kita akan merasa jenuh dan ingin mencoba sepeda motor dengan menempuh jarak yang lebih jauh lagi. Di sini kita menghadapi ketakutan berbagai hal seperti jalan yang besar dan ramai. Setelah rasa takut kita atasi, maka kita mulai percaya diri dan bahkan dan bahkan bisa jadi berlebihan. Pelatih kita rasanya sudah tidak perlu kita dengarkan lagi, karena kita sudah menyamai keahliannya. Bahkan pada saat mengendarai sepeda motor di jalan besar sekalipun, kita merasa seperti jara dunia. Belum puas rasanya bila masih ada motor lain di depan kita.

Kunci keberhasilan kita pada tahap ini adalah dengan sesegera mungkin menyadari bahwa selalu ada gunung yang lebih tinggi untuk didaki. Banyak manusia berbakat yang seharusnya meraih prestasi tinggi, tapi mereka harus gagal dalam tahap ini, hanya karena merasa sudah berada di puncak gunung tertinggi, padahal ia baru saja melewati kaki sebuah bukit.

Bila kita berhasil melewati sudut emosional, maka perjalanan belajar kita akan mulai menapaki sudut spiritual. Kata spiritual di sini, tidak dimaksudkan dengan menggantikan kata Religi. Namun lebih dimaksudkan untuk menjelaskan pemahaman kita yang paling hakiki terhadap apa yang kita pelajari.

Pada tahap ini, kita akan mencari kebenaran dari apa yang kita pelajari, bukan untuk memuaskan rasa ingin tahu kita belakak, tetapi untuk memberikan manfaat yang mulia bagi orang-orang di sekitar kita. Bila pada sudut emosional kita mengedim lampu sepeda motor untuk memerintahkan orang lain memberi jalan, maka pada sudut spiritual, kita akan menggerakkan tangan kita untuk menyilahkan mereka maju lebih dulu. Pada sudut ini pula akhirnya kita menjadi satu terhadap apa yang kita pelajari. Satunya kata dengan perbuatan dan kebahagiaan sejati akan raih pada sudut ini.

Semakin kita bersedia membuka pikiran dan hati kita maka semakin efektif pembelajaran kita sehingga semakin cepat pula kita melewati sudut-sudut dalam piramida belajar. Ada dua kunci penting dalam pembelajaran ini. Pertama: apapun yang kita pelajari tidak akan banyak bermanfaat bagi diri kita dan orang lain bila kita tidak melewati sudut emosional. Dengan kata lain, kita harus mempraktekkan apa yang kita pelajari dalam keseharian kita dan berani bergelut dengan kepuasan kita sendiri.

Kedua: bila pada sudut mental, fisik dan emosional, kita mengenal kata "lulus", maka pada sudut spiritual kita tidak mengenal kata "lulus" itu. Sebagai manusia, kita perlu menyadari betul bahwa kita tidak bisa sempurna, sebaik atau sekeras apa pun yang kita berusaha. Artinya, kita tidak bisa mengkalim bahwa kita telah mengetahui semuanya. Sebaliknya, pengetahuan kita adalah awal yang baru bagi ketidaktahuan kita.

Nah, persoalan sekarang adalah sejauhmana kita akan melangkah dalam piramida ini....??? Semuanya berpulang pada diri kita sendiri. Akankah kita tidak melangkah ke mana-mana karena perlawanan mental yang kita berikan...??? Ataukah kita hanya akan terhenti di sudut fisik karena kita menyerah. Atau akhirnya kita tertahan di sudut emosi karena keangkuhan kita sendiri....??? Tentunya, harapan kita adalah bahwa kita bisa mencapai sudut spiritual sehingga kita bisa lebih banyak membantu dan menjadi inspirasi bagi orang-orang di sekitar kita. ***

05 September, 2007

Maafkan aku

Sayang, aku akan gila lagi. Dan ku rasa aku tak akan pulih lagi. Kurasa kita tak bisa lalui masa mengerikan ini lagi. Aku mulai dengar suara-suara dan tak bisa konsentrasi. Jadi kulakukan apa yang tampaknya hal terbaik untuk ku lakukan. Kau telah memberiku kebahagiaan terbesar yang mungkin.

Kau telah menjadi semua yang bisa dilakukan orang. Aku tahu, mungkin aku telah merusak hidupmu. Dan tanpa aku, kau bisa bekerja, dan kau pasti bisa. Aku tahu. Aku bahkan tak bisa menuliskan ini dengan baik. Aku hanya ingin katakan: Aku hutang seluruh kebahagiaan.

Kau sangat sabar padaku dan sangat baik. Semua lenyap dariku, kecuali kepastian dan kebaikanmu. Aku tak bisa merusak hidupmu selamanya. kurasa orang tak tak bisa lebih bahagia dibanding kita selamanya. Maafkan aku.***