11 September, 2007

Belajar Damai dari Warung Kopi

RIBUT tapi mengasyikan..... obrolan ngalor-ngidul, serius, ringan, ngoceh, diskusi dengan berbagai topik. Mulai dari dari isu di tingkat Rukun Tetangga, sampai soal isu internasional yang mereka tonton di tivi dan baca di koran dan majalah. Ah....Semua hal dibicarakan di sini. Di sini juga mereka berdebat. Bersitegang. Bercanda. Dan macam-macam hal. Oh iya, di sini juga mereka bicarakan soal rencana aksi unjukrasa.

Aku mengistilahkannya dengan DPRD Tingkat III. Karena di sini berkumpul para birokrat, bupati, walikota, politisi, akademisi, pengusaha, kontraktor, wartawan, polisi, tentara, advokat, jaksa, hakim, penganggur, sampai orang gila. Di sini juga ada beragam orang dengan latar belakang agama dan kepercayaan. Ada Islam, Kristen, Budha, Hindu, Kong Hu Cu dan juga yang tak beragama. Komunis benaran sampai komunis malu-malu pun ada. Semuanya berkumpul di sini. Mereka menyatu dan tidak kenal perbedaan-perbedaan itu. Tak ada sekat-sekat dan tak ada orang dilihat dari kelas sosialnya. Dan tak ada dendam di sini. Semuanya damai.

Ya... itulah suasana warung kopi (warkop) di Palu. Ada warung kopi Harapan di Jalan Wahidin yang aku menyebutnya dengan warkop KNPI. Karena setiap siang hingga sore, mayoritas hanya diisi oleh para anggota dan pengurus KNPI. Ada warkop Aweng di Jalan Ki Maja. Nama itu diambil dari nama pemiliknya. Ada juga warkop MJM di Jalan Setiabudi. Ada juga di warkop di Jalan Pattimura dan di Jalan Cut Nyak Dien. Entahlah, apakah karena hoki atau apa, semua warkop itu dikelola oleh mereka yang masih saudara sekandung.

SALAM DAN JABAT TANGAN

Yang paling berkesan ketika kita datang ke warkop-warkop di Palu, seperti telah menjadi suatu konsensus bersama meski tak tertulis, tapi wajib kita harus mengucapkan salam (Assalamu'alaikum atau selamat pagi) lalu disertai dengan berjabatan tangan. Kita harus berjabat tangan dengan semua pengunjung. Nah boleh dibayangkan kalau pengunjung ada 50 orang. Capek bukan....???

Tapi, semua yang datang ke warkop, pasti melakukan itu. Bahkan Marini, seorang aktris senior yang bersuamikan orang Palu, pun mengikuti tradisi itu. Aku pernah mengajak seorang kawan dari Jakarta ke warkop Aweng, sekembalinya dari situ, ia sempat memuji tradisi itu. "Luar biasa... pantas saja saya merasa agak terasing juga, karena saya tidak jabat tangan," kataya.

Dan lebih terlihat lagi persaudaraan itu, karena bagi yang memiliki uang lebih semisal walikota, ketua DPRD, Wakil Ketua DPRD atau pengusaha, akan membayar kopi bagi hampir semua orang. Itu juga sudah menjadi semacam kesepakatan bersama. Tapi itu bukan sogokan atau pun amplop.

Entahlah, siapa yang memulai tradisi salam, jabat tangan dan bayar kopi untuk semua di warkop-warkop Palu itu. Tapi yang pasti, itu sudah berlangsung sejak lama. "Oh tradisi itu sudah ada sejak tahun 1980-an," kata Bustamin Nongtji, mantan Pembantu Rektor III Universitas Tadulako yang menjadi pelanggan warkop Aweng.

Meski begitu, toh masih ada juga yang merasa terganggu kalau ke warkop. "Ah... saya malas ke warkop, nanti saya harus bayarin semua kopi orang," kata salah seorang kawan asal Palu yang sudah lama tinggal di Jakarta.

Kesan lain yang ku dapati di warkop-warkop di Palu, adalah istilah kopi setengah. Beberapa pelanggan hanya memesan kopi separuh gelas. Jadi, kalau harga kopi segelasnya Rp 5000, mereka hanya membayar Rp 2500. Tapi tunggu dulu, setelah meminum beberapa teguk, pemesan kopi setengah itu meminta tambahkan air panas dan gula. Maka jadilah kopi segelas. Tapi, bayarnya tetap separuh. hehehehe....sebuah strategi mendapatkan segelas kopi dengan bayaran separuh harga.

BERBEDA DENGAN ATJEH

Beberapa hari setelah tsunami, aku sempat ke Nanggroe Atjeh Darussalam. Keberangkatan ku waktu itu difasilitasi oleh M. Ichsan Loulembah, seorang senator asal Sulteng untuk menjadi relawan kemanusiaan. Di negeri Serambi Mekkah itu, aku juga bisa menikmati kopi di warung kopi Ulee Kareng. Suasannya nyaris sama. Mungkin karena situasi ketika itu masih berduka, jadi aku tak melihat ada diskusi satu topik yang terfokus seperti suasana di warkop Palu. Di Palu, jika ada satu isu menarik maka itu menjadi topik hangat untuk dibicarakan.

Aku juga tak melihat ada jabatan tangan dengan semua pengunjug warkop ulee kareng. Aku juga tak melihat ada diskusi terfokus untuk satu isu yang lagi hangat. Masing-masing orang sibuk dengan onrolan do kelompoknya sendiri-sendiri.

Soal rasa kopi, memang tergantung lidah setiap yang meminumnya. Tapi, bagiku kopi di warkop Ulee Kareng Atjeh dan Warkop Palu, sama saja. Suatu saat, seorang kawan wartawan dari Atjeh, namanya Hotli Simanjuntak, pernah ke Palu dan aku ajak ke warkop Harapan di Jalan Wahidin. Ia memesan kopi hitam. Begitu selesai menyeruput kopi itu, ia mengatakan: "Kopi Palu berat juga. Kepala saya puyeng juga setelah meminum kopi ini," kata Hotli kepadaku.

Entahlah, menurut sebagian orang Atjeh, kopi Ulee Kareng itu telah dicampur ganja. Tapi aku tak merasa puyeng waktu meminumnya. Tapi Hotli yang asli Medan dan tinggal di Atjeh itu, mengaku kalau kopi Palu berat. Meskipun Selvi, perempuan cantik di Warkop Harapan, tak mau memberitahukan ku soal campuran kopi yang dijualnya. Tapi aku yakin kalau kopi Palu tak dicampur ganja.

Seorang pejabat dari kantor Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat pun, sampai harus membeli sekilogram kopi Palu sebagai ole-ole untuk dibawa ke Jakarta. "Wah...saya belum merasakan kopi seperti ini di Jakarta," kata Tono Supranoto, Asisten Deputi Menko Kesra Bidang Penanggulangan Kemiskinan suatu saat ketika datang ke warkop Harapan.

Nah, saya pikir Anda juga bisa mencoba kopi Palu, sekaligus menikmati suasananya. Bagaimana bisa ke warkop Palu....??? Dari Jakarta Anda bisa menggunakan pesawat Lion Air, Wings Air, Batavia, Merpati dan Sriwijaya Air Lines, trasit di Makassar atau di Balikpapan. Harga tiketnya paling murah Rp 900 ribu dan yang paling mahal Rp. 1,5 juta. Dari Bandara Mutiara Palu, Anda cukup naik mobil bandara dengan tarif one way hanya Rp 30 ribu ke hotel.

Pagi harinya, pukul 08.00 Wita atau pukul 09.00 Wita, cobalah Anda ke warkop Harapan, Aweng atau MJM. Kalau di Harapan di Jalan Wahidin, maka yang Anda lihat adalah polisi, TNI, karyawan Bank dan Karyawan Telkom. Kalau Anda ke warkop Aweng di Jalan Ki Maja, maka Anda akan bertemu dengan PNS, pejabat, Ketua DPRD, Wakil Ketua DPRD, politisid, wartawan an bermacam-macam orang. Kalau ke MJM di Jalan Setiabudi, maka akan bertemu dengan para kontraktor. Tak ada salahnya Anda mencobanya...***