30 September, 2007

Karya Sang Guru Itu Bernama Alkhairaat

Karya-karyanya sudah terlalu banyak. Salah satu karya terbesarnya adalah Alkhairaat. Bagi masyarakat Indonesia Timur, tidak asing lagi dengan nama ini. Pasalnya, lembaga pendidikan Islam ini tersebar hingga ke pelosok-pelosok di seantero Indonesia Timur. Mulai dari Palu hingga ke Papua. Bahkan di Jakarta dan Surabaya pun telah berdiri perwakilannya.

Lantaran itu, jika orang menyebut Alkhairaat, maka yang akan terbersit di ingatan masyarakat, adalah nama Habib Idrus bin Salim Aljufrie. Di kalangan abnaul alkhairaat (anak-anak Alkhairaat) menyebutnya dengan sebutan Guru Tua atau Ustadz Tua. Seorang ulama ternama yang lahir di Taris, Hadrmaut, Yaman Selatan pada 14 Sya'ban 1319 Hijriah atau 18 Maret 1891 Miladiah.

Guru Tua, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beragama dan cinta ilmu pengetahuan, anak kedua dari pasangan Sayed Salim bin Alawy --seorang mufti di Hadramaut-- dengan Andi Syarifah Nur-- putri keturunan seorang raja di Sulawesi Selatan, yang bergelar Arung Matowa Wajo-- ini sarat dengan pengetahuan keagamaan. Sejak muda Guru Tua dikenal memiliki wawasan yang luas dan sudah menghafal Alquran. Beliau juga ahli di bidang Fiqhi (hukum Islam).

Karena terjadi pergolakan politik di negaranya ketika itu, akhirnya ia dibuang oleh Inggris dan disuruh meninggalkan Yaman Selatan. Karena kerinduannya pada daerah ibunya, akhirnya Habib Idrus bin Salim Aljufrie memilih ke Batavia (Jakarta).

Di Batavia-lah, pertama kali Habib Idrus bin Salim Aljufrie memainkan peran pertama kali. Sejak saat itu, aktivitasnya pun terbilang cukup padat. Ia berpindah dari satu mimbar ke mimbar lainnya untuk mengajarkan agama kepada umat ketika itu. Tahun 1926, menjadi tahun penuh kesibukan Sang Guru Tua.

Dari situ pula, Habib Idrus bin Salim Aljufrie berkenalan dan menjadi teman diskusi dengan pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari, di Jombang, Jawa Timur. Keduanya kerap kali terlibat dalam pembicaraan, bahkan perdebatan sekitar masalah agama hingga upaya meningkatkan kualitas umat Islam melalui jalur pendidikan di pesantren.

Tidak hanya itu. Habib Idrus bin Salim Aljufrie, melanjutkan lagi dakwah ke Solo, Jawa Tengah dan ia dipercaya membina madrasah Al Rabithah Al Alawiyah cabang Solo. Selain sebagai pengajar, ia juga ditunjuk sebagai kepala sekolah tersebut. (Kini, lembaga pendidikan Al Rabithah Al Alawiyah berubah nama menjadi Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro).

Habib Sagaf bin Muhammad bin Salim Aljufrie, cucu Habib Idrus bin Salim Aljufrie, mengatakan, saat itu, di Jawa sudah sangat banyak ulama dan habaib. Akhirnya, tahun 1929, Habib Idrus bin Salim Aljufrie kemudian memilih mengajarkan agama di kawasan timur Indonesia. Ia memulai perjalanan ke Ternate, Maluku Utara. Beberapa saat mengajar di daerah kesultanan Islam itu, Habib Idrus bin Salim Aljufrie kemudian memilih melanjutkan perjalanan lagi ke Donggala, Sulawesi Tengah.

Di Donggala ketika itu, masyarakat masih hidup dalam kepercayaan animisme dan dinamisme. Habib Idrus bin Salim Aljufrie berpikir, ia harus mengajak umat di Donggala untuk memeluk Islam. Akhirnya, ia mendekati para tokoh masyrakat setempat, sampai akhirnya menikah dengan putri Donggala dari keturunan raja setempat. "Beberapa saat kemudian, Guru Tua menyampaikan keinginannya untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam," kata Habib Saggaf bin Muhammad Aljufrie yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Tengah ini.

Gagasan itu disambut positif para tokoh masyarakat. Maka berdirilah sebuah madrasah yang diberi nama Alkhairaat. Madrasah Alkhairaat yang pertama ini diresmikan pada 14 Muharram 1349 atau 1930 masehi. Dari situlah, cikal bakal berdirinya ribuan madrasah dan sekolah Alkhairaat di kawasan Timur Indonesia.

Data dari Pengurus Besar Alkhairaat menyebutkan, saat ini telah berdiri 1.816 madrasah dan sekolah, mulai dari Taman Kanak-Kanak TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) serta Universitas Alkhairaat. "Semuanya tersebar dari Palu hingga Papua, dan pusatnya berada di Palu" kata Habib Saggaf bin Muhammad Aljufruie.

Kini, Habib Idrus bin Salim Aljufrie telah tiada. Beliau telah wafat pada hari Senin 12 Syawal 1389 Hijriyah atay 22 Desember 1969. Sang Guru Tua hanya bisa meninggalkan karya besar yang tak bergerak bernama Yayasan Pendidikan Islam Alkhairaat dan karya bergerak, yaitu ratusan ribu santri dan alumni Alkhairaat. "Suatu ketika beliau ditanya soal karya berupa buku, beliau hanya menjawab, karya ku adalah Alkhairaat dan murid-muridku yang selalu mengajarkan agama kepada umat," kata Habib Idrus bin Salim Aljufrie.

AJAKAN DAMAI ALKHAIRAAT SAAT KONFLIK POSO

Saat meletusnya konflik Poso tahun 1998, Alkhairaat menjadi sentral pembinaan umat. Tidak hanya sekadar menampung pengungsi muslim Poso, tapi juga menjadi lembaga Islam di Sulawesi Tengah yang secara formal mengajak masyarakat untuk menghentikan konflik. Bahkan, pada Maret 2000 silam, para pendeta dan tokoh masyarakat Kristen datang ke Habib Sagaf bin Muhammad Aljufrie untuk meminta nasehat.

"Saya hanya meminta agar segera hentikan konflik. Konflik hanya merugikan masyarakat. Saya pun meminta umat Islam agar menahan diri dan tidak terpancing dengan semua provokasi," kata Habib Saggaf--sapaan akrab Habib Saggaf bin Muhammad Aljufrie kepada The Jakarta Post.


Karena keberadaan Alkhairaat itulah, sehingga konflik Poso tidak bisa melebar hingga ke Palu. berbagai macam provokasi dilakukan di Palu, mulai dari bom gereja, penembakan di gereja dan penembakan pendeta, tapi masyarakat Palu tidak terpengaruh sama sekali. Diakui atau tidak, semua itu karena peran Alkhairaat yang setiap saat mengajak masyarakat untuk cinta damai. Bahkan, Habib Saggaf bin Muhammad Aljufrie, dikenal sangat akrab dengan Pendeta Irianto Kongkoli, Sekretaris Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang tewas ditembak di Palu.

Saat pendeta Irianto Kongkoli disemayamkan di kediamannya di Palu, Ketua Utama Alkhairaat, Habib Saggaf bin Muhammad Aljufrie, mengajak Ketua DPRD Sulteng untuk melayat. Bahkan, sempat memberikan pesan-pesan damai di depan ratusan umat Kristiani di kediaman Pendeta Irianto Kongkoli.

Padahal, saat meletusnya konflik Poso, tercatat lebih dari 50 Madrasah Alkhairaat di Poso yang terbakar dan diakar. Tapi, menurut Ustadz Saggaf, terbakar dan dibakarnya Madrasah Alkhiraat di Poso itu, tak lebih dari musibah yang tak patut disesali. "Kita ambil hikmahnya saja. Yang penting, adalah situasi aman sekarang ini harus tetap dijaga," katanya.

Ajakan damai Alkahiraat itu, tidak hanya dilakukan melalui mimbar masjid dan pengajian-pengajian, tapi juga disampaikan melalui koran Mingguan Alkhairaat (MAL) dan Radio Alkhairaat (RAL).

Sederhana saja pikiran Ketua Utama Alkhairaat ini. Menurutnya bahwa kalau suasana kacau, maka pendidikan tidak akan bisa berjalan, proses belajar mengajar akan berhenti total. "Jadi, tak ada kata lain kecuali kita harus aman. Kita harus damai, agar semuanya dapat berjalan normal," katanya.

Pengakuan soal peran Alkhairaat menenangkan masyarakat di Palu itu, juga diakui oleh Pendeta Jimmy Tumbelaka. Menurutnya, Alkhairaat memiliki peran yang sangat besar saat terjadinya konflik di Poso. Beberapa kali ada upaya pihak-pihak tertentu yang hendak melebarkan sayap konflik ke Palu, tapi semua itu tidak berhasil, karena adanya tokoh sentral di Palu yang masih bisa didengar. "Tokoh sentral itu adalah Ustadz Saggaf, ketua Utama Alkhairaat," kata Pendeta Jimmy Tumbelaka.

Tidak hanya itu, Pengurus Wilayah Himpunan Pemuda Alkhairaat (HPA) beberapa kali menjalin kerjasama dengan sebuah organisasi muda Kristen di Tentena, yakni Angkatan Muda Sintuwu Maroso (Amsimar) untuk menggelar beberapa acara di Tentena. "Semua itu, dimaksudkan agar terjalinnya kerjasama antarumat beragama yang harmonis," tandas Husen Alhabsyi, ketua Umum Pengurus Wilayah HPA Sulteng.***

Tidak ada komentar: